Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Masyarakat Adat Nusantara Kumpul, Satukan Visi Menjaga kebudayaan Indonesia



Pasuruan, Pojok Kiri
Hari Ulang Tahun Pertama Masyarakat Adat Nusantara (MATRA) Pasuruan Raya (kabupaten / Kota). Kegiatan tersebut dihadiri Anggota DPRD kabupaten Pasuruan Andri Wahyudi, kepala Desa Kepulungan Didik Hartono, serta seluruh pengurus DPD Matra Pasuruan Raya, bertempat di pendopo Arcopodo, Wisata Transit Sumber Air Panas Pong Pulungan, Desa Kepulungan kecamatan Gempol-Pasuruan Minggu (22/09/2024).


Kebudayaan Indonesia menjadi salah satu aset kultural yang berharga bagi bangsa Indonesia dan memiliki nilai penting dalam menjaga identitas nasional. Namun, dalam era globalisasi, namun, banyak generasi muda yang semakin mengabaikan kebudayaan daerah tempat mereka tumbuh. Oleh karena itu, penting MATRA hadir dengan pemikiran, sebagai pilar perekat adat dan budaya nusantara yang berbagai ragam macam suku dan budaya yang ada di Indonesia.

DPD MATRA Kota Pasuruan, Rahmat Amaludin menyampaikan, "Semenjak MATRA Pasuruan Raya di dirikan, 17 September 2023 di joglo Pasuruan mempunyai tujuan mempertahankan dan mengembangkan Budaya Indonesia. "Tutur Rahmat Amaludin.


Menurutnya budaya Asli Indonesia ini sesungguhnya sangat paten, sangat tinggi dan mulia. Buktinya adalah begitu banyak kerajaan besar yang lintas bangsa saat ini sejak tahun 300 sampai sekitar tahun 1800. Maka tidak bisa di pungkiri adanya tata kebudayaan dan pola pikir yang sangat tepat untuk di gali dan di ikuti, khususnya di Pasuruan Raya, sebagai salah satu cara untuk mengembangkan tingkat ekonomi Masyarakat.

"Dengan menggali sejarah, meluruskan sejarah, dan Budaya yang ada di Pasuruan Raya, saling bahu membahu bersama pemerintah, dan tentunya menjadikan Budaya sebagai salah satu cara untuk mengembangkan tingkat ekonomi Masyarakat, dengan mengedepankan pengembangan Ekonomi Kreatif, dan Pariwisata yang berbasis budaya, seperti yang di lakukan Didik Hartono Kepala desa Kepulungan.

Wisata transit Sumber Air Panas Wong Pulungan yang bernuansa Budaya Nusantara.  
Seperti Pendopo Arcopodo yang terbuka dan luas dengan ukiran kayunya yang indah. , melambangkan keterbukaan, keramahan, dan keinginan untuk menyambut tamu, "Ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat Jawa, "tuturnya. 

Menurutnya, sumber air panas wong Pulungan ini berbasis budaya, salah satu jenis kegiatan pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya, sehingga dapat menarik kedatangan wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Konsep Pengembangan Ekonomi Kreatif berbasis Budaya yang di lakukan pemerintah desa Kepulungan merupakan pembangunan berlandaskan pada kreatifitas. Hal ini menjadi inspirasi tersendiri Bagi MATRA, di satu tahun pertama ulang tahun MATRA Pasuruan Raya. 

Sementara itu, kepala desa Kapulungan, Didik Hartono, sekaligus penasehat MATRA Pasuruan Raya menyampaikan, dengan mengucapkan salam Ibu Guru Bopo Angkoso, melalui MATRA, " kita bagian dari bumi Nusantara, kita punya nabi Adam, Rosul, dan sampai sekarang, "ucapnya.

Lanjutnya, Didik Hartono menceritakan, sejarah dah filosofi Arcopodo, sebagai cikal bakal terwujudnya impian destinasi wisata transit Sumber Air Panas Wong Pulungan. "Saya Ceritakan agak panjang, supaya faham, mumpung kita kumpul, "ucapnya.

"Dalam bahasa sansekerta Arcopodo itu punya makna penguasa alam bawah, kalau di dalam kan lagi punya makna neraka bawah tanah, " Kalau di teruskan lagi, sejarah ogoh-ogoh ini dari Arcopodo, "ucap Didik.

"Beberapa hari yang lalu saya dengar adanya orang yang ngak senang dengan adanya penampilan masalah ogoh-ogoh, saya sangat menyayangkan. Karena makna Ogoh Ogoh itu, sama dengan obah obah (bahasa Jawa), filosofi jowo di ogoh-ogoh, kalau di bahasa indonesikan di goyang-goyang" ungkapnya.

Kenapa wujud Buto, macam macam gambar raksasa, "itu bagian dari diri kita, dalam diri kita sendiri. Wong Islam iku kudu Ono torekohe, mulai sembilan transformasi atau perubahan nafsu pada diri manusia. Urutan tahap perubahan nafsu dimulai dari ‘Ammarah, Lawwamah, Mulhamah, Muthma’innah, Radhiyah, Mardhiyyah, ‘Arifah, Kamilah, Kehambaan dan Ketuhanan. "Ujar Didik.

Kembali filosofi Arcopodo, " Bahwa histori kabupaten Pasuruan tidak lepas dari yang namanya Kepulungan. 

Perlu di ketahui, Beberapa Kali Kapulungan Di sebut dalam kitab Negarakertagama. Mangkanya Wisata transit Sumber air panas Wong Pulungan, ini tidak sembarangan asal di Bor dan di bangu. Semua itu melalui proses penggalian sejarah, suatu peradaban zaman, dimana Kepulungan adalah perdikan kuno yang masih eksis hingga sekarang, "ungkap Didik.

"Kapulungan kuno". 
Suatu masa pada tahun 1359 M. saat sebuah kerajaan gilang-hemilang di puncak kejayaannya. Yaitu kerajaan Wilwatikta / Majapahit yang 
diperintah oleh seorang raja yang dianggap titisan Dewa Wisnu, Rajasanegara dengan nama penobatannya sang Tritarajo Hayam Wuruk. Ketika itu Sang Raja melakukan perjalanan pesiar keliling 
menuju Lumajang dengan diiringi ± 5.000 peserta terdiri dari anggota keluarga keraton, Pembesar Kerajaan, dan para Tanda serta prajurit-prajurit Majapahit.

Dalam catatan, Desawarnana Negarakertagama, sang Mpu 
Prapanca dan Acarya Nadendra Darmmadyaksa Majapahit mencatat, 
rombongan Raja Hayamwuruk melakukan perjalanan ke Lumajang untuk melakukan pencatatan nama desa-desa. Mula-mula melalui Japan, hingga menginap di sebuah Perdikan untuk malam pertama perjalanan pesiarnya.
Negarakertagama pupuh 17 : 10-11. Habis berkunjung pada candi makam pancasara menginap di "KAPULUNGAN". Negarakertagama pupuh 18 : Seberangkat Sri Nata dari KAPULUNGAN berdesak abdi ber arak, sepanjang jalan penuh kereta penumpangnya duduk berhimpit-himpitan. 
Di Perdikan Kapulungan itu sang Rajasanagara Hayam Wuruk dari sore hingga pagi dijelaskan dari KAPULUNGAN sampai di Pancuran, sekarang bernama Sumber tetek Belahan.

Pungkur di waktu pagi hari. Namun apakah hanya karena rute perjalanan sajakah, kenapa sang raja memutuskan di KAPULUNGAN ? Ini yang jadi menarik.

Hasil penelusuran, menyusuri sumber - sumber Prasasti, ternyata di masa Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit 
(tahun 1293 M-1309 M) hingga masa Sri Jayanegara -Raja Kedua-Majapahit (tahun 1309 M – 1328 M) nama KAPULUNGAN sudah tersebut di dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan Sri Paduka Kertarajasa Jayawardana Raden Wijaya, yang menyatakan seorang 
mahapatih ing Kapulungan.
Prasasti Balawi
“Mapatih Ring KAPULUNGAN MPU DEDES WIRANIWARYA”.

Dalam piagam dan prasasti yang dikeluarkan Sri Rajasanagara Hayam Wuruk, Perdikan KAPULUNGAN, tercatat di pupuh 76:1 Desawarnana, Kapulungan tercatat sebagai Perdikan Siwa bebas dari pajak.

Kiranya ini bisa dibuktikan jejak peninggalan yang masih ada hingga sekarang, berupa yoni dan reruntuhan bata besar di sebuah Pemakaman umum Dusun Copodo.

Dengan detail Kades Didik menceritakan catatan sejarah KAPULUNGAN , dan alasannya destinasi wisata Sumber air panas wong Pulungan di mulai, " karena di tempat ini, di dusun Arcopodo, merupakan cikal bakal sumber air panas keluar secara alamiah.

Apakah Didik berdarah “Mapatih Ring KAPULUNGAN mpu dedes wiraniwarya”. Oleh Didik Hartono Wiraningwiryo, tanah aset desa yang mangkrak puluhan tahun di sulap sesuai impian sejarah Pintu Gembang Negeri Aryapada, "Destinasi Wisata Sumber Air Panas Wong Pulungan".

Menurut Didik, "Kalau ingin menuju Arya' yang berarti "mulia" atau "ditinggikan" harus mandi dulu atau di sucikan dulu di sumber air panas ini, karena menurut mitologi Jawa, sebutan "Arcopodo" bermakna: "penguasa bawah, atau neraka bawah tanah", Makna ini tentunya sejalan dengan status Yama sebagai penguasa dunia konsep Lokapala." Ucapnya.

Kita kembali ke Kapulungan awal. Dalam desawarnana juga 
dicatat dan disebutkan Sri Nata Wengker mendirikan Desa Budha di Kapulungan.
Negarakertagama /desawarnana pupuh 82:2

“Sri Nata Singhasari membuka ladang luas di daerah sagala, 
Sri Nata Wengker membuka hutan surabana, pasuruan, 
pajang. Mendirikan perdikan budha di rawi, locanapura, 
KAPULUNGAN. Sekarang area makam umum Dusun Betas.

Nama desa Kapulungan selain disebut dalam kakawin desawarnana / negarakertagama dan prasasti yang penulis uraikan diatas, ternyata di masa lebih tua yaitu masa Kerajaan Tumapel yang 
dikenal sebagai Kerajaan Singhasari, nama Kepulungan tercatat dalam prasasti Mula-malurung yang berangka tahun 1177 Saka atau 1255 M. 
“Ngkwing KAPULUNGAN siranawastha sthapaka ring kabhairawan”. (B : 5)

Dengan demikian jelaslah nama Kepulungan termasuk perdikan yang sangat tua. Dengan yoni tanpa cerat yang ada di di makam umum Dusun Kabunan, Desa Kepulungan,
menjadi satu gambaran bahwa Kepulungan kuno adalah desa atau Perdikan bebas pajak, dilihat dari perdikan yang ada bangunan sucinya.

Lebih lanjut Didik juga menceritakan, Era Mataram Islam menurutnya, Sejarah Pasuruan harusnya memakai dasar sejarah dari KAPULUNGAN, karena menurut Didik, Raja Pasuruan Pertama berasal dari KAPULUNGAN, Ki Gede Kapulungan. 

Di dalam Babad Arya Tabanan disebutkan bahwa Ki Gusti Wayahan Pamadekan atau Angrurah Wayahan Pamadekan diperintahkan oleh Dalem Di Made di Sukasada untuk menyerang Jawa bersama adiknya, Ki Gusti Made Pamadekan atau Kyai Ngurah Pacung. (Keduanya adalah putra Ki Gusti Ngurah Tabanan ’Prabu Winalwan/Betara Mekules).

Dalam pertempuran hebat dengan pasukan Mataram di Pasuruan, yang terjadi pada tahun 1635 Masehi itu dikisahkan Kyai Ngurah Pacung mundur bersama pasukannya. Sedang kakaknya, Ki Angrurah Wayahan Pamadekan yang tubuhnya kebal senjata berhasil ditawan oleh Mataram dan kemudian diambil menantu oleh Sultan Agung (1613-1646) dari Mataram, memiliki putera bernama Raden Tumenggung, yang kelak menjadi tokoh yang diketahui bernama Ki Dermayuda tumenggung Kapulungan.

Ini bisa bermaknai, Ki Angrurah Wayahan Pamadekan setelah memeluk Islam dan diangkat menjadi Bupati Pasuruan menggunakan nama Ki Dermayuda, yang digantikan puteranya, Ki Dermayuda II. Anggajaya, kiranya adalah putera Ki Dermayuda II, jadi wajar jika oleh Belanda tokoh Anggajaya ini disebut orang Bali dan diangkat menjadi Bupati Pasuruan pada Mei 1680 berurutan dengan pengangkatan kakaknya, Anggawangsa, yang menjadi Bupati Surabaya bergelar Jangrana (De Graaf, 1989).

Lain halnya Menurut cerita tutur Jawa Tengah, Pada saat terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan yang dipimpin oleh Kiai Gede Kapoeloengan bergelar Kiai Gede Darmojudho I (1617-1645) Ketika naik tahta pada tahun 1613 cucu Senopati Mataram melanjutkan siasat politik ekspansi dinastinya. 

Pada tahun 1617 Pasuruan dapat diduduki oleh pasukan Sultan Agung. Menurut cerita tutur Jawa Tengah yang mempertahankan Pasuruan adalah seorang Toemenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kepoeloengan dengan gelar Kiai Gede Darmojudho I.

Kepulungan masih tetap eksis sebagai desa yang makmur dengan tanah yang subur, air melimpah. Kepulungan layak saat itu sebagai perdikan yang cukup penting bagi sebuah 
kerajaan dari masa ke masa hingga sekarang, Kapulungan melimpah sumber air panasnya, sehingga desa Kapulungan di juluki desa Milyader.

Pada Kesempatan tersebut, Penasehat DPD Matra Pasuruan Andri Wahyudi Anggota DPRD kabupaten Pasuruan mengatakan, "Saya berharap Matra bisa menjadi bagian yang menjaga dan melestarikan budaya yang ada di kabupaten Pasuruan,
Pihaknya juga siap membantu memfasilitasi kegiatan kebudayaan dalam bentuk apapun,"jelasnya.

Ditambahkan Aw, “kedepan pemimpin Pasuruan adalah orang yang harus mengerti kebudayaan,pelaku seni dan budaya kalau tidak ada yang nanggap maju dan bertahan dari mana, untuk itu dia berkeinginan kedepan di kabupaten Pasuruan minimal satu bulan sekali harus ada kegiatan kesenian dan budaya yang berlevel nasional, "pungkasnya. (Syafi'i/Yus).